Tuesday, April 21, 2009

Gratis!!! Kebun Angan kalender poster






























Saya & team Kebun Angan baru aja selesai bikin self promotionals. Silk screened alias disablon. Manual. Jumlah terbatas. Masih ada sisa poster kalender (3 bulanan: April - Juni, ukuran 30 x 60 cm) kalo teman mau koleksi. Gratis!. Kirim e-mail data lengkap berikut alamat pengiriman ke Kebun Angan (alamat e-mailnya ada disitu). Buruan kirim, sebelum kehabisan! Read more!

Komikku, kover buku tulisku

Sejak SD saya senang komik. Bukan hanya membacanya, namun juga mengagumi kehebatan gambar dan (di kemudian hari saya mengenalnya sebagai) desain visual. Saya terpesona dengan bagaimana komikus membayangkan dan menggambarkan karakter demi karakter; ekspresi, fashion, gestur tubuh, adegan, dengan pas. Sampe sekarang pun saya masih berpikir komik adalah satu buku dengan kualitas yang paling artistik secara desain diantara jenis-jenis buku lain.

Biasanya di setiap beberapa halaman komik-komik terjemahan ini, diselipkan halaman iklan. Ada iklan produk non-komik (yang ini biasanya disimpan di halaman terakhir-snack, es krim, dsb), ada juga iklan komik lain dari penerbitan yang sama. Iklan komik ini biasanya sederhana sekali. Hanya berupa desain kover dari komik baru tersebut yang dibubuhi informasi tambahan seperti Stop Press!, Segera Terbit! atau lainnya. Ada yang berwarna, ada yang tidak. Saya senang keduanya karena selain saya bisa langsung tahu identitas komik baru tersebut, gambar nya pun lebih dramatis (dibanding di halaman isi yang harus desek-desekan sama frame dan balon kata).


























Waktu itu saya ingat, setiap siswa diwajibkan menyampul buku tulisnya. Setelah beberapa saat menimbang dan mengukur (halah) kelarlah pikiran ini, “Wah, kayaknya bakal asyik tuh kalo buku tulis saya disampuli iklan-iklan komik ”. Kekaguman saya terhadap komik, dorongan mengkoleksi, keinginan untuk beda dan dan juga pengen ‘ngirit’, akhirnya melahirkan ide untuk menyampuli buku tulis saya dengan gambar dan dari iklan komik.

Jadi setelah saya pilih dengan ekstra hati-hati dan penuh perhitungan, saya robek halaman iklan tersebut. Kadang saya memotong dan merekatkan dua halaman iklan biar sampulnya bisa full gambar sampe ke belakang. Lalu saya sampulkan ke buku tulis yang saya punya, lengkap dengan sampul plastik beningnya.






























Wuiiihhh, senengnya punya sampul buku beda kayak gitu. Saya pamer-pamerin ke anak-anak kelas. Gak terlalu mikirin kalo koleksi komik saya jadi berantakan, gak terlalu mikirin apa anak-anak lain banyak yang ngerti atau nggak sama kesenengan itu, gak terlalu mikirin kalo suatu saat kemudian saya bakal kena hukuman dari guru.

Hwuekekek…. Yaaah, namanya juga anak-anak ;->.
Read more!

Wednesday, April 15, 2009

Merancang Placebo






In one startling drug study in the 1980s, a young woman who had been virtually homebound by the energy-sapping effects of chronic fatigue syndrome had a miraculous recovery.
But, it wasn't the drug that cured the patient – she was in the trial group that was taking sugar pills. It was the "placebo effect," — a well-documented phenomenon that has intrigued doctors for decades.
When patients believe a drug will help them, they sometimes heal themselves.
By SUSAN DONALDSON JAMES – ABC News on Columbia and Michigan Study Is First To Show Placebo-Induced Pain Relief in Humans.

Zubieta used PET brain scanner to take pictures of the placebo effect in action for the first time, confirming what scientists had suspected for decades: In the patients who said the placebo relieved their pain, he saw that the brain did indeed produce its own natural pain-killing chemicals. Called opioids, these chemicals plug into tiny "sockets" on nerve cells, called mu-opioid receptors, the same way medications like morphine do -- dulling or eliminating feelings of pain.
As reported in Discover magazine,


Placebo adalah istilah medis untuk sejenis obat dan sistem pengobatan ‘jadi-jadian’. Ada terlalu banyak orang yang sudah sangat tergantung dengan perspektif pengobatan medis sehingga tidak dapat menerima, dan akan merasa lebih sakit ketika diberitahu bahwa sebetulnya penyakitnya sangat dapat disembuhkan tanpa obat atau dengan cukup istirahat, dan gaya hidup yang lebih teratur dan rileks. Pasien-pasien ini secara berangsur-angsur menjadi sehat begitu disuntik, diberi obat atau dioperasi, meskipun tanpa sesuatu yang betul-betul obat secara medis dibalik itu. Hanya cairan garam, pil berselaput gula, atau bahkan pembedahan tanpa pemotongan organ dalam.

Melalui berbagai kejadian dan eksperimen, Placebo terbukti telah menyumbangkan sekitar 35-75 % dari tingkat kesembuhan terhadap berbagai jenis penyakit. Kesembuhan ini, dilansir tidak hanya diakibatkan hanya oleh obat Placebo, namun juga hal-hal yang diluar itu. Kesungguh-sungguhan tindakan pelayanan dan pengobatan team medis (meskipun mereka memberikan tidak lebih dari obat dan pengobatan Placebo), termasuk pembawaan dan tindakan-tindakan lain yang menggugah keinginan dan harapan sembuh dari sang pasien tercatat memberikan kontribusi terhadap efek Placebo.

Placebo dan efek Placebo seperti ini saya pikir tidak hanya hidup hanya dalam dunia medis. Banyak hal yang sebetulnya kita lakukan, kita rancang, bisa jadi adalah Placebo. Hal ini bisa jadi berlangsung secara tidak disengaja (baca – sadar). Karena keterbatasan pengetahuan, keterbatasan wewenang, atau ada faktor X yang sebetulnya beyond semua perhitungan dan kesadaran perancangan. Ada beberapa kasus dimana desainer betul-betul mengevaluasi proses produksi, distribusi dan dampak dari rancangannya, namun sebagian besar dari desainer seringkali sudah berada entah dimana, bukan karena tidak peduli, namun – entah karena permasalahan otoritas, budget atau lainnya - tidak berhasil menjadikan dampak tersebut sebagai tanggung jawabnya.
Sama seperti seorang yang yakin terhinggapi ‘penyakit’ dikarenakan keyakinan medisnya, terdapat latar belakang yang sudah begitu rumit dan sedemikian membudaya sehingga seringkali desainer merancang karena merasa harus merancang begitu saja. Dalam situasi ini, proses dan aktifitas perancangan seringkali berjalan tanpa benar-benar tersadari. Jauh dari kesadaran mengenai duduk permasalahan, solusi atau bahkan dampaknya.

Sebaliknya, hal ini bisa terjadi secara disengaja. Saya barangkali bukanlah orang satu-satunya yang pernah merancang untuk project 'boong-boongan'. Sejenis proyek yang banyak dilakukan di Indonesia (dulu, saya gak tahu kondisinya sekarang), yang tujuan utamanya tidak lain hanyalah sebagai instrumen penggolan dana anu, penggeseran kekuasaan atau sesuatu yang sangat berupa tujuan pribadi atau sekelompok kecil orang di satu instansi/ organisasi. Jenis project yang tidak pernah betul-betul diharapkan memberikan solusi terhadap sebuah permasalahan karena memang permasalahannya juga adalah permasalahan bo’ongan. Proyeknya juga proyek bo’ongan, kalo ada desain disitu, ya pastinya juga desain bo’ong-bo’ongan. Tidak akan ada dampak yang betul-betul signifikan. Ini barangkali sama seperti kasus dimana perancang dan team desain memposisikan efek dari sebuah rancangan, sebagai sesuatu yang sepertinya tidak akan pernah ada. Well prepared placeboes.

Berita jeleknya adalah bahwa ada dan bahkan barangkali sebagian besar dari apa yang kita rancang - tidak peduli seberapa bagus atau jeleknya hal tersebut - bisa jadi adalah Placebo karena kita tidak pernah sepenuhnya menemukan kesadaran mengenai hal-hal yang kita lakukan dan tidak kita lakukan itu. Kita tidak pernah betul-betul dalam keyakinan yang tetap mengenai apa sebetulnya yang memberikan efek dari rancangan kita? Apakah bagian fisik, metafisik?, media? Informasi? Proses, atau lainnya? Mungkin karena itu juga peradaban kita ini tidak pernah benar-benar berubah sebagaimanapun kita jungkir balik merancangnya. Lucu dan ronik.

Berita bagusnya adalah bahwa penilaian fungsional, pendefinisian dan kekaburan sesuatu sebagai Placebo atau bukan Placebo, barangkali tidak lebih penting dari fakta bahwa kita telah hidup dan survive melaluinya. Kita bisa jadi tidak pernah tahu pasti apakah sebuah kejadian betul-betul merupakan efek dari rancangan kita, namun kita tahu pasti, ada sesuatu ketika rancangan tersebut diproses yang memberikan kontribusi terhadap diri kita, team desain dan mungkin orang lain diluar itu.

Ternyata diantara ketidakbisaan membedakan sesuatu itu Placebo atau bukan Placebo, diantara ketidak tahuan dan ketidak sadaran apakah penyakit hidup kita benar-benar membutuhkan obat desain, kita ternyata telah dan tengah melaluinya.

Kita hidup begitu saja. Belanja sana sini, kongkow-kongkow, merancang media, teknologi, mendapatkan uang darinya, menghidupi keluarga, merancang dan merancang lagi, begitu seterusnya dan seterusnya. Ajaib, bukan?.

Bahwa, tulisan ini mungkin juga akan menjadi Placebo?, weleh-weleh…
I wrote it anyway.
Read more!

Logo sebagai perwakilan produk?

Ada banyak pebisnis sepatu memasang gambar sepatu, dan pebisnis baju memasang gambar baju untuk logonya. Ada banyak dari kita yang menafsirkan logo sebagai sejenis gambar atau elemen visual yang merupakan perwakilan produk. Ini sepintas kelihatan sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja (dan secara teknis memang bisa, dan tidak ada seorang pun yang melarang untuk melakukan), namun bila tidak hati-hati, pemahaman dan prilaku ini bisa jadi akan menjadi bumerang yang justru dapat mengancam produk dan brand tersebut. Saya mengumpulkan sedikitnya empat faktor mengapa kita perlu berhati-hati. Yang pertama adalah faktor ikonisasi. Sebuah logo adalah perwakilan paling sederhana dari sesuatu. Rangkuman. Jangkar. Ini adalah salah satu penyebab mengapa hampir rata-rata - bahkan logo-logo kenegaraan sejak abad pertengahan (kalau itu bisa dikategorikan sebagai logo) – selalu merupakan bentukan visual yang sangat sederhana. Melalui kesederhanaanya inilah sebuah logo ini akan lebih cepat dikenali , dipahami, dimanfaatkan seoptimalnya sebagai juru identifikasi. Ikonisasi dari serangkaian produk akan menghadapi banyak sekali konflik sebelum betul-betul dapat menjadi ‘ikon’. Entah itu seputar keakuratan informasi visual dari produk versus kelengkapan (penyederhanaan cenderung akan membuat sebuah komunikasi menjadi kurang spesifik secara fisik, namun sebaliknya, pelengkapan informasi juga tidak lantas membuat sesuatu lebih komunikatif), efisiensi proses ikonisasi versus kesimpang siuran konseptualisasi tersebut, atau hal lainnya. Seringkali ikonisasi produk ini juga menjadi tidak mudah karena tidak semua produk mempunyai bentuk yang spesifik. Coba anda bayangkan harus dilakukan penyederhanaan seperti apa untuk menunjukkan Merica dalam sebuah logo Mie Baso Merica Ojo Dumeh ? atau Wijen dalam Roti Wijen Sakti?

Kedua; faktor persaingan dan diferensiasi. Sepertinya persepsi bahwa logo harus selalu merupakan gambar perwakilan produk akan cenderung menjadikan semua penjual mie tarik punya logo yang sama - ya gambar mie lagi ditarikin itu – kalau tidak berusaha menyederhakan atau malah menambahkan elemen visual agar gambar produknya lebih spesifik lagi.
Yang menarik ialah, penjualan produk dengan jenis yang sama tidak akan persis sama bila dilakukan oleh orang yang berbeda. Ada penjual yang kekuatannya terletak di pelayanan, sementara penjual lain terletak di harga. Dalam konteks ini, penggambaran produk dalam logo seperti itu justru bisa jadi tidak menguntungkan, dan tidak komunikatif bila ternyata bukan hanya keunikan produk-lah yang dijual.

Ketiga: faktor trend produk. Sebuah produk cepat lekang dimakan usia dan trend. Produk Laser Disc misalnya, mempunyai umur yang sangat pendek, produk-produk lain bisa jadi berumur lebih panjang namun semakin hari trend global semakin mendudukkan setiap produk kedalam pusaran keusangan yang semakin cepat. Dalam situasi ini silahkan bayangkan apa yang harus anda lakukan dengan logo dengan gambar sepatu kulit anda bila ternyata trend sepatu bulan depan berubah dari sepatu kulit ke sepatu setengah kulit? Apakah anda akan memutuskan untuk tetap menjual sepatu kulit, dan sulit laris, hanya gara-gara,” waduh, logonya sudah kadung pake gambar sepatu kulit, nih.” Atau anda akan rubah gambar produk tersebut menjadi sepatu setengah kulit agar anda dapat menggeser komoditi anda? Gimana nasib logo tersebut seandainya trend berubah lagi dan kemudian anda harus ekspansi atau menggeser jenis komoditi anda ke bidang fashion berbahan kulit misalnya? Silahkan bayangkan sendiri…

Keempat: faktor profil pemakai/ konsumennya. Ada sebagian dari masyarakat yang tidak atau kurang tahu dan familiar terhadap produk tertentu. Ada kalangan yang tidak familiar, dan bahkan tidak kenal bentuk, warna atau seperti apa sebuah komputer misalnya. Untuk kalangan masyarakat seperti ini, bila anda keukeuh hendak menjual komputer, pemakaian gambar produk dengan sedikit eufimisme ilustrasi kartun/ maskot/ tokoh akan sangat membantu. Masyarakat bisa mendapatkan gambaran yang spesifik tentang produk anda, dengan cara yang fun.

Namun jangan lupa, ada juga kalangan masyarakat dimana komputer tersebut sudah merupakan barang sehari-hari, sudah terlibat sedemikian akrab dan erat dengan kehidupan mereka, sudah bukan barang yang musti dikenalkan dengan cara-cara jenaka lagi. Apakah bila anda pasang gambar komputer dan mungkin ilustrasi maskot didalamnya, konsumen seperti ini akan datang ke toko komputer anda seperti ketika anda menghadapi konsumen sebelumnya ? Belum tentu. Setiap kalangan – dengan berbagai latar belakang pengetahuan, ekonomi, teknologi dan lain sebagainya – telah dan sedang tumbuh dengan melalui budaya informasi dan komunikasi yang berbeda. Begitu juga kalangan ini. Bila di kalangan sebelumnya logo produk dengan maskot kartun akan sangat efektif, bagi kalangan ini bisa jadi ditafsirkan, “ah, produk murah, produk standar, mending gua cari yang lebih pasti, lebih detail, lebih branded”.

(Bersambung)
Read more!

Tuesday, April 07, 2009

Tentang direktur dan direksi desain

Semua orang pernah melalui situasi dimana sebuah keputusan sulit untuk diambil. Ada banyak hal yang menjadi penyebabnya, yang jelas, situasi seperti ini adalah sejenis situasi dimana arahan, dorongan, anjuran atau bahkan instruksi bisa menjadi sangat berharga. “Thank God dia menyuruh saya mengambil jalan ini, kalo nggak saya gak bakalan bisa nyampe rumah!”.

Hal yang hampir sama terjadi juga dalam bidang desain. Sering sekali desainer dan teamwork begitu intens terlibat secara dengan karyanya sehingga keputusan-keputusan sulit diambil secara cepat, lancar dan jernih. Perlu ada orang yang tidak secara teknis terlibat dalam perancangan, namun paham situasi dan menguasai cara-cara agar proses dapat berjalan sesuai tracknya. Saat paling tepat untuk seorang Director, pengarah, menunaikan tugasnya. Mendiskusikan, mengembangkan arahan dan bila perlu, langsung ke hal-hal yang bersifat teknis.

Jadi, please keep in mind. Tugas seorang Director (dalam bahasa Indonesia adalah direktur), dalam berbagai turunannya: Art Director, Design Director, Creative Director, dsb, sama sekali bukan untuk mengkritik (ya, saya cukup kesal dengan persepsi dan prilaku seperti ini) namun MENGEMBANGKAN ARAHAN. Tidak semuanya dapat berjalan lebih lancar bila yang anda keluarkan hanyalah kritikan. Dalam situasi-situasi urgent, kritikan malah hanya akan memperlambat proses karena yang anda kritik tidak akan secara langsung mengetahui solusinya.

Jadi tips saya untuk anda para direktur-direktur design related ini, entah itu yang ada dibalik studio-studio desain, entah itu yang terposisikan sebagai klien dari studio-studio tersebut, satu saja: Please, Direct.
Read more!

Outside What?

























(foto diambil dari sini)


Kreatifitas sering diidentikkan dengan sesuatu yang berhubungan dengan imajinasi, penemuan-penemuan, dan inovasi. Membuat sesuatu yang unik dan orisinil, melakukan, memikirkan sesuatu dengan cara yang berbeda, meruntuhkan batasan dan kebakuan, Thinking Outside the Box.Terkadang kita menariknya sedemikian jauh. ‘Out’ dari pemikiran dan pertimbangan bisnis, ‘out’ dari pertimbangan konseptual, ‘out’ dari pertimbangan etika, ‘out’ dari perencanaan, ‘out’ dari pengetahuan, ‘out’ dari pertimbangan lingkungan, ‘out’ dari segala sesuatu yang dianggap sebagai batasan. Fakta bahwa batasan akan selalu ada walaupun tidak dengan sengaja dikonstruksi, menjadikan kreatifitas didefinisikan sebagai sesuatu yang harus selalu 'out' dan ‘anti’ terhadap semua hal kecuali proses melabrak dan menghancurkan batasan (box) tersebut.

Outside’ - diluar, adalah konsekwensi logis dari ‘inside’ - didalam. Pertanyaannya mengenai ‘Outside the Box’ ini adalah, bagaimana kita bisa yakin sudah ‘outside’ dari sebuah box kalo kita gak pernah tahu seperti apa sebetulnya ‘inside’ dan ‘tha box’ itu sendiri?. Bagaimana kita bisa yakin sudah ‘ke' dan 'diluar’ dari ‘box’ kalo kita gak pernah bisa tahu seperti apa situasi ‘didalam’ itu? Gak pernah yakin ‘box’ itu sendiri kayak gimana, gak pernah tahu, gak pernah mau tahu, gak pernah merasa perlu tahu seperti apa, dimana, mengapa dan apakah batasan itu sendiri memang ada? Cukupkah ‘out’, ‘outside’ atau pelabrakan itu untuk menjadi dasar acuan bagi kreatfitas?

Faktanya adalah bahwa kreatifitas juga terlibat ketika formula, produk, aktifitas dan pemikiran baru dibangun. Kreatifitas memberikan kontribusi sangat penting dalam penemuan (dan termasuk penyebaran) teknologi baru, formula, literatur dan hal-hal, unik dan orisinil lainnya. Apakah itu yang dipakai oleh Jonathan Ive ketika merancang Mac, apakah itu dibalik Jingjing and Chacha (polisi virtual) yang dipakai oleh pemerintah cina untuk melindungi penduduk Cina (seperti itu klaim mereka) dari cyberporn? apa itu yang memberikan kontribusi sangat besar dalam segala sesuatu yang unik-unik, baru-baru dan orisinil di keseharian kita kalau bukan kreatifitas?

Yang lebih aneh bin ajaib lagi adalah bahwa sisi konstruktif dari kreatifitas ini sendiri seringkali juga seperti berjalan dengan sisi destruktifnya. Ketika Kalle Lasn frustasi dengan jaringan kapitalisme global yang apatis terhadap pemerataan kesejahteraan, pertimbangan ekologis dan lainnya, dia tidak hanya melakukan negasi, mencoba keluar dan secara langsung melanggar batasan-batasan yang ada. Namun dalam waktu yang bersamaan, mencoba membuat sesuatu yang baru. Sesuatu yang tidak terakomodir dalam batasan tersebut, melahirkan AdBuster, Culture Jam, Black Sneakers dan lainnya. Majalah, networking, action, produk, sesuatu yang tidak hanya memberikan inspirasi dan menjadi panutan bagi banyak generasi rendah kapitalisme dan ramah lingkungan, namun betul-betul memberikan kontribusi langsung terhadap pergeseran batasan dari jaringan kapitalisme dan peradaban global tersebut. Hal yang kurang lebih sama seperti yang terjadi dalam proses kreatif Jonathan Ive dan pengembangan Jingjing and Chacha.

So jadi, sebetulnya seperti apa ‘out’ dan ‘the box of Creativity itu’? Apakah memang cukup didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat ‘pelabrakan’ dan ‘anti’-konstruksi seperti yang ada di awal paragraf ini? apakah sebaliknya, ‘outside the box’ dalam kreatifitas itu justru harus selalu dipahami sebagai sesuatu yang konstruktif? atau sebetulnya malah ‘out’, ‘in’ atau ‘the box’ nya itu sendiri gak penting-penting amat, yang lebih penting justru adalah kombinasi dan perjalanan ulang alik diantaranya?

(bersambung)
Read more!

Saturday, November 22, 2008

Ecofont: Huruf ramah lingkungan

"After Dutch holey cheese, there now is a Dutch font with holes as well."






Angkat topi untuk Sprang, studio desain dari kota keju, Belanda yang telah merancang huruf ramah lingkungan: Ecofont. Huruf yang dapat mengurangi penggunaan tinta printer dan toner up to 20% dibanding huruf-huruf biasa.


Desain hurufnya sendiri dikembangkan dari Vera Sans, fonts opensource, yang strokenya dibuat bolong/ dilubangi layaknya keju Belanda. Tidak dibutuhkan tinta untuk mencetak sebuah bolong/lubang, inilah ide sederhana sehingga penghematan dapat dilakukan.






Dengan begitu, desainer, percetakan, atau siapapun pengguna dan pencetak font dapat berhemat biaya (untuk membeli tinta dan toner tersebut), berhemat environmental cost yang harus dikeluarkan setiap kali kita membuat sesuatu.

Hey. Ada versi gratisnya! Download sekarang juga dari sini.
Read more!

Thank God There's Deadline!

Bila anda seorang desainer grafis, penulis, pencipta musik atau bidang kreatif lainnya, pasti anda pernah mengalami saat-saat dimana sepertinya karya anda tidak akan pernah selesai. Anda menemukan kombinasi warna baru yang karenanya menuntut perubahan susunan komposisi. Perubahan ini kemudian menuntus penyesuaian elemen nada, ritme dan lainnya. Yang kemudian, disaat anda bangun dari tidur sebentar anda mungkin, memperoleh inspirasi baru entah dari mana (mungkin dari blog ini ;-)). Clingg! anda merasa telah melakukan hal yang salah dan musti melakukan perancangan dari awal.

Terdapat pertimbangan inovasi, terdapat diferensiasi material, sumber daya manusia, motivasi, teknologi -struktur masalah- yang membuat tidak peduli seberapa lengkap kita merasa telah mempertimbangkan sebuah masalah, pengembangan solusi desain nampak seperti sebuah aktifitas menumbuk atom. Selalu ada bagian lebih kecil, yang saling berkaitan dengan bagian lain dalam konstelasi multidisipliner. Ketemu sosiologi, ketemu antropologi, ketemu ekonomi, teologi, dan lain sebagainya.

Dan anda tahu? sama seperti mengakhiri proses rumit ini secepat mungkin, atau menelusuri tumbukannya sejauh mungkin, tidak ada satupun yang dapat menjamin bahwa solusi desain tersebut akan lebih baik. Saya pernah mengerjakan satu proyek yang cukup panjang (satu tahun lebih), dimana bahkan di akhir proyek tersebut saya tidak merasakan bahwa solusi desain yang saya kerjakan adalah yang paling 'optimal' dalam merespon permasalahan.

Tidak peduli seberapa sepat atau lambat proses desain anda lakukan, akan selalu terdapat satu momen dimana solusi desain -yang bahkan secara kolektif telah diakui sebagai sesuatu yang 'optimal'- sebetulnya hanyalah adalah solusi yang optimal dalam kurun waktu pengerjaannya. Tidak di waktu yang lain.

Melalui situasi ini saya mempelajari beberapa hal. Betapa deadline -secara sadar atau tidak, melalui instruksi atau self intiated- tidaklah pernah berarti 'hanya' deadline.Ini adalah sebuah kebutuhan dari setiap proses desain. Salah satu yang membuat sebuah proses menyediakan waktu untuk berimprovisasi dan ber-rekreasi (dengan adanya pemberhentian dari proses tersebut), dua hal yang memberikan kontribusi penting dalam pengembangan proses tersebut. Saya bisa memahami bahwa di titik ini desain adalah sebuah seni, bukan hanya sains. Saya juga dapat memahami bahwa pada dasarnya kita semua butuh Deadline, dan betapa keberadaan hal tersebut adalah sama pentingnya dengan proses itu sendiri,

Pastinya, saya dapat menghargai keberadaan sebuah Deadline yang layak, tidak peduli betapa relatifnya makna dari kata-kata tersebut.
Read more!

Wednesday, November 19, 2008

Design Great Debates. Cheers!

Menarik mengikuti diskusi di sesi awal perkuliahan Identitas Visual di hari Jum'at yang lalu (lha, kok saya baru postingnya sekarang, ya?). Dimulai dengan presentasi mengenai Logo Design How to (oleh Aang dan Rizal kalo tidak salah), dilengkapi dengan contoh yang beragam, sampai akhirnya tiba pada pro dan kontra mengenai 'apakah terdapat semacam 'standar' dalam pemrosesan sebuah logo?'.

Sebagian peserta kuliah dengan tegas menyatakan: Tidak ada standar dalam kreatifitas, demikian pula dalam desain. Beberapa yang lain menyangsikan, "Masa sih segitunya, kan desain juga ada deadlinenya, ada pemesan, ada proses yang rumit, ada banyak sekali pertimbangan yang mendorong dibuatnya 'standarisasi'?."

Kontroversi. And guess what?. Tidak peduli akan ada berapa banyak lagi buku dan formula mengenai desain, tidak peduli ada berapa banyak 'gerakan anti-formula desain', proses pendefinisian desain dan kreatifitas akan terus berlangsung seperti ini. Pertanyaannya adalah: akankah kita menikmati dan memahaminya?.

Cheers for the great(er) debates!.

Read more!

Thursday, November 13, 2008

Logo adalah Jangkar (Part II)

Ada setidaknya dua hal paling dekaden dalam branding ketika anda memiliki sebuah logo. Pertama; merasa bahwa desain logo adalah sesuatu yang terpisah dengan desain media-media lain dari brand anda. Kedua; merasa bahwa 'kewajiban' anda dalam (visual) branding telah selesai.

Ini adalah hal-hal paling berbahaya simply karena anda tidak lantas memiliki kapal hanya dengan membuat jangkar. Seperti juga berbahaya untuk mempunyai sebuah jangkar yang asal ada.

Anda tidak akan mendapatkan persepsi identifikasi dan identitas brand yang kuat hanya melalui sebuah logo. Apalagi, bila logo anda dirancang sebagai sesuatu yang terpisah dengan arahan desain media-media lain yang dibuat brand anda. Apakah logo Apple akan berjaya bila yang diproduksi oleh Apple hanyalah logonya saja? Apakah logo Apple akan berfungsi optimal bila Apple tidak menginjeksikan filosofi simplisitas kedalam desain atribut brand, branding dan produk, yang dengan demikian mengembangkan arahan desain yang kurang lebih sama untuk desain logonya?

Sama seperti kapal laut, identitas visual adalah satu sistem dimana banyak bagian (media) beroperasi, saling terkait dan berbagi fungsi. Sebuah logo, hanya akan berfungsi bila terdapat media-media lain; poster, fashion, product, packaging, dsb. Dia akan menjangkarkan media-media ini. Tanpa logo, media-media dengan kemungkinan desain yang bervariasi ini akan lebih sulit diidentifikasi demikian pula sebaliknya, hampir mustahil (kecuali tentunya untuk produk-produk eksperimental) sebuah logo dapat bertahan bila tidak ada media lain untuk dijangkarkan. Logo dan sistem desain Apple, hanyalah salah satu saja dari banyak sekali contoh dimana fungsi dari logo ini pun akan menguat bila media-media lain ini didesain dengan arahan yang terintegrasi. Tidak terpisah. Karena keduanya, logo dan media visual lainnya, dilandaskan dari visi brand, positioning, diferensiasi dan image yang sama.

SO, please don't be such naive
untuk terlalu sumringah atau bahkan mengkritik habis-habisan keberadaan sebuah logo. Mending alokasikan konsentrasi anda untuk memeriksa bagaimana nasib desain media-media lain dari brand tersebut? Apakah terdapat arahan desain yang terintegrasi? Apakah sewaktu logo didesain, dipikirkan pula arahan yang kurang lebih sama untuk desain media-media ini? Apakah positioning, visi, dan terutama: personalitas brand -selain setumpuk 'standarisasi' teknis pemrosesan- melandasi desain logo tersebut?

Anda merayakan, atau mengkritik, atau mencaci maki -menghabiskan konsentrasi penuh- untuk sesuatu yang di bayangan anda adalah Kapal Laut. Padahal yang anda miliki hanyalah sebuah logo. Jangkar. Sesuatu yang tanpa kapal laut, sampai kapanpun tidak akan mempunyai manfaat
. Damn!. What a waste.
Read more!

Monday, November 10, 2008

Desain adalah Teamworking

Sejak desainer tidak merancang untuk dirinya. Sejak karya desain membutuhkan 'pemakai' , 'pemesan' -partisipasi dari 'stakeholder' ini- dalam bentuk 'approval' atau lainnya, maka sejak itulah Desain adalah Teamworking. Dalam banyak situasi seperti ini, posisi desainer -bila dikaitkan dengan otoritas keputusan desain- seringkali bahkan kecil saja.

Pujian untuk desainer dengan begitu adalah juga pujian untuk klien, dan juga pujian untuk sekelompok orang-orang yang secara langsung atau tidak, berpartisipasi dalam proses desain tersebut.

So, bila suatu saat anda merasa desain anda gagal, tengoklah bukan hanya desainer anda tapi juga seluruh individu yang terlibat. Siapa tahu, mungkin justru anda sendiri yang membuat desain anda gagal ;-).
Read more!